Oleh : M. Syamsu Alam Darajat, S.HI., S.H., M.A.

 

Ketika Nabi Muhammad SAW masih hidup tentu Arah Kiblat tidak menjadi sebuah persoalan yang serius, karena pada saat itu masyarakat muslim masih terbatas, Rasulullah SAW sendiri yang menunjukkan kemana Arah Kiblat yang benar. Persoalan itu menjadi cukup rumit ketika umat Islam telah tersebar luas di seluruh penjuru belahan dunia dan Rasulullah telah wafat. Tidak ada pilihan lain kecuali harus berijtihad untuk menentukan Arah Kiblat yang benar. Dalam konteks ini Imam An-Nawawi menegaskan bahwa:

“Jika seseorang yang punya kemampuan untuk berijtihad mencari arah kiblat namun ia tidak mau melakukannya, mencukupkan diri dengan bertaklid pada mujtahid lain maka salatnya tidak sah walaupun arah kiblat itu pada kenyataannya benar, karena ia meninggalkan tugasnya untuk mencari arah kiblat dan menghadap ke arahnya; sebagaimana disepakati tidak sah salatnya seseorang yang tidak bertaklid dan tidak berijtihad walaupun ia menghadap pada arah yang benar”

Berijtihad dalam menentukan Arah Kiblat berkembang seiring kemajuan ilmu pengetahuan, sehingga metode yang dipakai bisa berkembang sesuai dengan kemajuan yang dicapai. Dengan kata lain hukum menghadap Kiblat tetaplah wajib, namun metode penentuan Arah Kiblat berkembang menuju metode yang lebih akurat dan teliti.

Konsep penentuan Arah Kiblat bagi banyak orang (khususnya di Indonesia) adalah konsep abstrak yang sulit dicari, karena Kakbah tidak terlihat langsung pada pandangan mata manusia. Meskipun Arah Kiblat senyatanya merupakan azimuth sehingga dapat di simpulkan langsung menggunakan kedudukan benda langit tertentu (seperti Matahari) ataupun menggunakan pedoman (kompas) magnetis, hanya sedikit yang mampu memahami apalagi menerapkannya. Terlebih benda langit tersebut senantiasa bergerak dari waktu ke waktu sehingga dibutuhkan pengetahuan mencukupi guna menentukan waktu yang tepat, sementara jarum kompas pun relatif bisa bersimpangkan akibat anomali magnetis saat berada di lingkungan kaya besi dan mineralnya.

Dasar Hukum Arah Kiblat Berdasarkan Al-Qur’an

Kewajiban dalam menghadap kiblat saat melaksanakan salat tertuang dalam firman Allah Swt. dalam Alquran:

Al-Baqarah [2] : 144

قَدْ نَرٰى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِى السَّمَاۤءِۚ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضٰىهَا ۖ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ۗ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوْا وُجُوْهَكُمْ شَطْرَهٗ ۗ وَاِنَّ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ لَيَعْلَمُوْنَ اَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَّبِّهِمْ ۗ وَمَا اللّٰهُ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُوْنَ ١٤٤

“Kami melihat wajahmu (Muhammad) sering menengadah ke langit, maka akan Kami palingkan engkau ke kiblat yang engkau senangi. Maka hadapkanlah wajahmu ke arah Masjidilharam. Dan di mana saja engkau berada, hadapkanlah wajahmu ke arah itu. Dan sesungguhnya orang-orang yang diberi Kitab (Taurat dan Injil) tahu, bahwa (pemindahan kiblat) itu adalah kebenaran dari Tuhan mereka. Dan Allah tidak lengah terhadap apa yang mereka kerjakan”

Al-Baqarah [2] : 149-150

وَمِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ۗ وَاِنَّهٗ لَلْحَقُّ مِنْ رَّبِّكَ ۗ وَمَا اللّٰهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُوْنَ ١٤٩ وَمِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ۗ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوْا وُجُوْهَكُمْ شَطْرَهٗ ۙ لِئَلَّا يَكُوْنَ لِلنَّاسِ عَلَيْكُمْ حُجَّةٌ اِلَّا الَّذِيْنَ ظَلَمُوْا مِنْهُمْ فَلَا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِيْ وَلِاُتِمَّ نِعْمَتِيْ عَلَيْكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَهْتَدُوْنَۙ ١٥٠

“Dan dari manapun engkau (Muhammad) keluar, hadapkanlah wajahmu ke arah Masjidilharam, sesungguhnya itu benar-benar ketentuan dari Tuhanmu. Allah tidak lengah terhadap apa yang kamu kerjakan. Dan dari manapun engkau (Muhammad) keluar, maka hadapkanlah wajahmu ke arah Masjidilharam. Dan di mana saja kamu berada, maka hadapkanlah wajahmu ke arah itu, agar tidak ada alasan bagi manusia (untuk menentangmu), kecuali orang-orang yang zalim di antara mereka. Janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku, agar Aku sempurnakan nikmat-Ku kepadamu, dan agar kamu mendapat petunjuk”.

Dari dalil-dalil Al-Qur’an di atas terdapat tiga kali pengulangan pada kalimat  “fawalli  wajhaka  shat}r  al-Masjidilh}ara>m”.  Menurut  Ibn  Abbas pengulangan tersebut merupakan penekanan terhadap pentingnya menghadap ke Kiblat. Sementara itu Ar-Razi mengartikan pengulangan tersebut memiliki fungi yang berbeda. Pada surat Al-Baqarah ayat 144 menjelaskan tentang umat muslim yang berada di wilayah kakbah dan dapat melihat langsung, untuk Al-Baqarah ayat 149 ditujukan  kepada  umat muslim yang berada di luar Masjidil al-Haram dan untuk Al-Baqarah ayat 150 ditujukan kepada umat muslim yang berada di wilayah yang jauh atau negara-negara luar. Dalam ayat-ayat tersebut dapat dipahami bahwa perintah menghadap ke Arah Kiblat (kakbah) tidak hanya ditujukan kepada umat muslim yang berada di kota Mekah dan sekitarnya tetapi juga ditujukan kepada seluruh umat muslim di seluruh dunia.

Dasar Hukum Arah Kiblat Berdasarkan Hadis

Kewajiban menghadap ke Arah Kiblat yaitu kakbah pada masa Nabi Muhammad SAW. tidak banyak permasalahn seperti saat ini dikarenakan pada masa tersebut kaum muslim masih bisa melihat Kakbah secara langsung, beda halnya seperti sekarang ini atau saat Rasulullah telah wafat, kaum  muslimin telah tersebar luas di seluruh belahan dunia baik itu belahan dunia bagian Utara, Selatan, Barat dan Timur. Selain Alquran terdapat beberapa hadis tentang dasar menghadap ke Arah Kiblat. Rasulullah SAW bersabda

“Dari Abi Hurairah ra., nabi Muhammad saw. bersabda: “arah  yang terletak di antara Timur dan Barat adalah kiblat” (HR. Ibnu Majah dan Turmudzi yang mengatakan Hasan Sahih)

Hadist tersebut menjelaskan bagi orang yang akan melaksanakan ibadah Salat wajib menghadap ke Arah Kiblat, maksud dari arah yang terletak di antara Timur dan Barat adalah Kiblat jika seseorang tidak dapat menghadap ke arahnya menurut beberapa pendapat ulama, tetapi bagi orang yang dapat melihatnya maka kiblatnya tidak terbatas Barat maupun Timur, akan tetapi tetap menghadap ke kiblat walaupun dari arah manapun.

“Dari Abu Hurairah ra., nabi Muhammad saw. bersabda: “Bila hendak salat maka sempurnakanlah wudu, lalu menghadaplah ke kiblat kemudian takbir” (HR. Bukhari)

Adapaun hadis di atas menjelaskan secara umum terkait kewajiban menghadap ke kiblat ketika melaksanakan salat bagi setiap kaum muslimin kecuali dalam keadaan lemah (sakit) atau dalam keadaan tertentu yang benar-benar tidak bisa menghadap ke Arah Kiblat Kakbah

Memahami Rasdhul Kiblat

Umat Islam telah sepakat bahwa menghadap ke Arah Kiblat adalah merupakan syarat sahnya Salat. Mengetahui arah Kiblat suatu kebutuhan bagi seluruh umat Islam. Salah satu metode yang paling sederhana, bebas biaya, dan memiliki tingkat keakurasian tinggi untuk menentukan arah Kiblat adalah degan cara memanfaatkan fenomena Rasdhul Kiblat / Istiwa ‘Adzam tahunan. Rasdhul Kiblat adalah posisi Matahari tepat berada diatas Kakbah disebabkan Lintang Kakbah sama dengan Deklinasi Matahari, sehingga Matahari berkulminasi tepat diatas Kakbah. Deklinasi Matahari pada saat itu 21o 25’ yang mana tepat dengan lintang Kakbah. Dengan demikian, bayangan yang dihasilkan benda tegak lurus di seluruh permukaan Bumi pasti akan mengarah ke arah Kiblat.

Peristiwa Rasdhul Kiblat terjadi 1 (satu) tahun 2 (dua) kali. Untuk tahun Kabisat terjadi setiap tanggal 27 Mei dan 15 Juli, sedangkan tahun Bashitah terjadi pada tanggal 28 Mei dan 16 Juli. Untuk bulan Mei pada jam 16:18 WIB dan bulan Juli jam 16:27 WIB. Menurut pakar ahli ada yang berpendapat bahwa 2 hari sebelum dan sesudah peristiwa Rasdhul Kiblat dengan rentang waktu ± 5 menit masih dapat digunakan untuk mengetahui maupun mengecek kembali arah Kiblat, karena membandingkan hasil hitung Rasdhul Kiblat harian di berbagai tempat. Tabel selisih azimuth matahari dan kiblat digunakan untuk mengetahui tingkat akurasi Rasdhul Kiblat masing-masing daerah dan metode. Sebagai contoh pada tanggal 26, 27, 29, dan 30 Mei pukul 16.18 WIB ternyata juga masih akurat. Sedangkan untuk rentang waktu ± 5 menit mempunyai tingkat akurasi yang berbeda-beda bagi masing-masing daerah. Sehingga toleransi waktunyapun menjadi bervariasi. Secara teoritis, H+2 dan H-2 dengan waktu ± 5 menit tidaklah akurat, tetapi secara praktis waktu-waktu tersebut masih cukup akurat untuk mengkalibrasi arah kiblat di setiap wilayah.

Tata Cara Penentuan Rasdhul Kiblat

Sebelum melakukan pengamatan Rasdhul Kibkat, ada beberapa hal yang wajib dilakukan, yaitu:

  1. Pastikan benda yang menjadi patokan benar-benar berdiri tegak lurus dan harus berada di halaman Masjid, Mushollah, depan rumah, lapangan/outdoor. Karena dalam menentukan arah kiblat dengan peristiwa Rasdhul Kibkat mengandalkan sinar Matahari.
  2. Permukaan dasar benda tegak lurus harus benar-benar datar dan rata. Untuk mengecek kerataan, bisa menggunakan alat waterpass.
  3. Waktu pengamatan harus disesuaikan dengan waktu BMKG, RRI, atau Telkom. Karena server jam tersebut adalah waktu standart Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *